15-16 Oktober 2011
“Gantungkanlah cita-citamu setinggi Gunung” -ade-
Ini kali ketiga aku mendaki Gunung Merapi, setelah erupsi hampir satu tahun silam, seperti biasa, aku datang ke sini, ke gunung ini, ketika aku ingin menulis, aku datang ke sini ketika aku butuh waktu untuk menikmati sunyi, ketika kota mulai sedikit terasa memenjarakan jiwa.
Kali ini aku tidak pergi sendiri, aku membawa 10 orang teman bersamaku, yang lebih dari setengahnya belum pernah mendaki, berat? Ya.. Tapi aku percaya kepada teman-temanku, aku yakin mereka bukan orang-orang bermental tapai yang akan merengek manja ketika jauh dari kota.
“Semoga kita diberikan kelancaran selama pendakian, dan mendapatkan makna atas apa yang kita lakukan”
Sepucuk kalimat sederhana, pembuka doa kami kepada Sang Pencipta sebelum memulai pendakian. 30 menit pendakian, seorang teman ingin kembali ke basecamp, “aku pusing de”, aku berhenti sejenak, berbicara sepatah-dua patah kata, dia pun mau mencoba melangkah lagi. Beberapa langkah, lalu berhenti lagi dan berbicara perlahan, “aku pusing banget de, gak enak hati juga, aku balik ke base camp aja ya, daripada nyusahin ntar”, aku masih berusaha membujuknya, tapi gagal, aku pun mengantarnya turun kembali ke base camp dan meminta seseorang untuk menggantikanku memimpin rombongan.
Aku kecewa, kecewa sekali, bukan kepada temanku yang tak mampu melangkah, namun kepada diriku yang tak mampu membuat semangatnya tergugah, sungguh… Aku bukanlah pemimpin yang hebat, bahkan masih jauh dari layak untuk disebut pemimpin.
Rombongan melanjutkan pendakian, aku turun mengantar seorang temanku ke basecamp dan berpesan kepada rombongan agar tidak menungguku, aku akan menyusul mereka sebelum sampai di pos 1, pesanku kepada mereka. Sesampai di base camp aku menitipkan temanku kepada kenalanku, aku bersyukur masih ada kenalanku di base camp, jadi aku bisa mendaki lagi dengan perasaan (sedikit) tenang, setidaknya ada yang menjaga temanku.
Aku melanjutkan pendakian, berjalan di gelap malam sendirian, rasa takut? Jelas ada.. tapi rasa nyaman dan damai yang lahir dari kesunyian malam, menutup rasa takut itu. Setapak demi setapak aku melangkah, tak terasa sudah hampir satu jam aku mendaki sendirian. Tepat jam 1 subuh, aku menyusul rombonganku, aku langsung melepaskan carrierku, istirahat sejenak, sambil dihibur oleh canda tawa teman-temanku. Ternyata mengasyikkan juga naik gunung beramai-ramai, baru kali ini aku mendaki dengan jumlah orang yang cukup banyak, karena sebelum-sebelumnya aku lebih suka naik gunung sendirian.
Aku istirahat sambil baring menatap langit, langit yang penuh dengan bintang-bintang indah bersama cahaya bulannya, aku memutar lagu favoritku, lagu yang selalu aku dengarkan ketika berada di gunung. Ost film “Gie”, Ciptaan eross So7.
“sampaikanlah pada ibuku
aku pulang terlambat waktu
ku akan menaklukkan malam
dengan jalan pikiranku
sampaikanlah pada bapakku
aku mencari jalan atas
semua keresahan-keresahan ini
kegelisahan manusia
retaplah malam yg dingin
reff:
tak pernah berhenti berjuang
pecahkan teka-teki malam
tak pernah berhenti berjuang
pecahkan teka-teki keadilan
berbagi waktu dengan alam
kau akan tahu siapa dirimu yg sebenarnya
hakikat manusia
akan aku telusuri
jalan yg setapak ini
semoga kutemukan jawaban”
Selesai mendengarkan lagu yang menenangkan itu, kami melanjutkan pendakian, hembusan angin semakin kencang, dingin pun mulai membelai pelan-pelan, tapi sama sekali tak mengurangi semangat teman-temanku untuk tetap melangkah.
Jam 02.30, puncak mulai terlihat, walaupun masih samar di balik bayang-bayang malam, kami istirahat sejenak, memasak air, lalu membuat kopi untuk menghangatkan badan.
Jam 03.30 kami mencukupkan istirahat, melanjutkan pendakian, aku memutuskan mengambil jalur landai yang ada di balik punggungan gunung, agar terhindar dari hembusan angin yang bisa membuat tenda dome terbang. 30 menit perjalanan, aku merasa jalur ini seperti sedikit asing, dan benar saja, aku salah jalur, tapi aku tahu benar dimana letak pos 2, di atas punggungan ini. Aku diam saja, tidak memberitahu rombongan bahwa kami salah jalur, karena percuma, kami tidak mungkin kembali lagi, memberitahu rombongan hanya akan melemahkan semangat mereka, jadi aku memilih diam, untuk tetap menjaga semangat mereka, sambil terus berteriak, “ayooo.. 15 menit lagi sampai pos 2, sunrisenya istimewa di sana”, padahal, sebenarnya aku sendiri tidak yakin berapa lama lagi sampai pos 2, kami saja masih salah jalur, tapi demi mereka, demi semangat mereka, aku terus berteriak-teriak seperti itu.
Jam 04.30, suara adzan subuh terdengar, gelap malam perlahan-lahan memudar, kami masih belum sampai di pos 2, aku mempercepat langkah. Jam 04.45 kami sampai di pos 2. Aku diam tak bergumam saat sampai di pos 2, kabut tebal menutupi langit di sebelah timur, aku sedikit kecewa. Aku membuat api unggun menghangatkan badan, bersandar di sebuah batu besar, lalu mengeluarkan coklat dari carrierku untuk mengisi energi, tiba-tiba terdengar suara, “ WOI.. SUNRISENYA.. SUNRISENYA..”, aku langsung memanjat batu besar tempat aku bersandar, berdiri menatap langit di sebelah timur. Kabut tebal perlahan-lahan terbawa angin, di langit timur muncul rona kemerahan, jingga dan.. ah.. entahlah itu warna apa, tapi yang pastinya mempesona tiap pasang bola mata dengan warna indahnya.
Aku memperhatikan sekelilingku, tahukah teman, betapa aku bahagia pagi ini, bukan ketika fajar datang dengan pesona indahnya, tapi ketika senyum bahagia lahir di wajah kalian, ketika malam berbubah jadi terang, ketika kita bersama menikmati hangatnya mentari pagi di Merapi ini. Kota menawarkan berjuta kemewahan, tapi alam memberikan keindahan dengan kesederhanaan..
Embun-embun mulai luruh, rona merah-jingga memudar, matahari muncul perlahan tepat dari balik gunung lawu.. Ahh.. pagi ini terasa begitu indah.. indah sekali. Seandainya seorang temanku yang sedang berada di basecamp bisa berada di sini, ikut merasakan betapa damainya hati di pagi ini.
“Pagi ini.. Ketika rona merah-jingga menebar pesona
Lisanku terpenjara..
Terkunci oleh indahnya mentari pagi..
Pagi ini.. adalah puisi..
Ketika embun-embun menyajakkan sepi..
Dalam panorama sunyi..
Pagi ini.. Kabut-kabut begitu baik hati..
Mereka pergi..
Membuka tirai penghalang..
Antara aku dan rasa damai..
Pagi ini.. Ketika embun-embun mulai luruh..
Aku tetap diam dan terjaga,,
Berdiri dan tak kuasa bicara,,
Menikmati panorama..
Yang tak henti-hentinya menebar rasa damai..
Pagi ini..
Begitu indah..
Begitu damai..
Merapi.. Bisakah kau hadirkan pagi ini lebih lama lagi?”
Matahari di ufuk timur mulai naik semakin tinggi, di sebelah utara ada Gunung Merbabu berdiri dengan gagahnya, agak jauh di sebelah barat terlihat Gunung Sumbing dan Gunung Sindoro, aku sudah kehabisan kata-kata untuk menjelaskan betapa indahnya pagi di Merapi ini.
Jam 6 pagi, kami melanjutkan pendakian, puncak sudah terlihat dengan sangat jelas, putih seperti diselimuti salju, yang sebenarnya disebabkan oleh erupsi hampir setahun lalu. Dari pos 2 ini, butuh waktu setengah jam untuk sampai pasar bubrah (300 m sebelum puncak) dan sekitar 1,5 jam untuk sampai puncak.
Dari 10 orang rombonganku, 7 orang menjejakkan kaki di puncak, 2 orang beristirahat di pasar bubrah dan 1 orang menunggu di base camp.
Untuk teman-teman yang telah berkenalan dengan puncak Merapi dan melihat dengan jelas isi kawahnya, be gratefull bro.. hanya sedikit orang yang pernah berada di situ.
Untuk yang hanya sampai di pasar bubrah, jangan berkecil hati teman, gunung tidak melulu soal puncak, puncak gunung adalah bonus dari sebuah pendakian, yang terpenting adalah bagaimana memaknai segala apapun yang ada selama perjalanan.
Untuk seseorang yang terpaksa menuggu di basecamp, aku berjanji suatu hari akan membawamu kembali ke sini, menikmati sunyinya malam di Merapi, indahnya panorama matahari pagi, lalu berlari-lari di atas kubah pasir yang sangat terjal. One day. I promise.
nb : puisi di atas aku persembahkan untuk temanku yang menunggu di base camp.. agar bisa ikut merasakan apa yang kami rasakan.. that's for you.. my friend.. :)
“Gantungkanlah cita-citamu setinggi Gunung”
kenapa gunung? Bukan langit? Langit terlalu tinggi teman… hampir mustahil untuk diraih, gantungkan lah di puncak gunung, bisa dilihat tanpa harus menatap terlalu tinggi. Cukup tinggi namun tetap sulit diraih, perlu perjuangan, fisik dan mental yang keras, terkadang perlu berjalan di gelap malam yang menyeramkan, atau meniti jurang-jurang yang dalam, sangat sulit? YA.. tapi bukanlah hal yang mustahil, hanya butuh tekad yang lebih kuat dari biasanya dan usaha yang lebih banyak dari biasanya.. Jadi, Gantungkanlah cita-citamu setinggi gunung.. :)
inilah ke-10 orang itu..
Faza, Ginta, Randi, Hasan, Yanuar, Agra, Pinto, Eki, Agung, Bila..
Untuk ke-10 orang temanku, kalian adalah orang-orang hebat yang pantas mendapatkan lebih dari sekedar acungan 2 jempol. Lanjutkan langkahmu teman, masih banyak Gunung-Gunung yang menanti kedatangan kalian, lalu dapatkan makna atas setiap perjalanan, karena mendaki Gunung bukan hanya perjalanan alam, tapi juga perjalanan hati..
Inilah Puncak Merapi dan isi kawahnya setelah erupsi hampir setahun lalu..
Mari nikmati indahnya alam Indonesia dari ketinggian..
Gunung Merapi, 15-16 Oktober 2011
Salam Lestari,
Ade Setio Nugroho