“Apakah benar gajah tidak bisa
memanjat pohon?”
Mungkin pertanyaan klise buat
sebagian teman-teman..
tapi entah kenapa, saya ingin sekali membahas tentang ini,
ya at least memaparkan apa yang ada di pemikiran saya tentang pertanyaan di atas..
tapi entah kenapa, saya ingin sekali membahas tentang ini,
ya at least memaparkan apa yang ada di pemikiran saya tentang pertanyaan di atas..
Ada sebuah filosofi dari beberapa
rekan, bahwa “ikan bisa hidup di darat”, “kucing juga mampu memanjat pohon”, dan
jika di analogikan secara lebih mudah yaitu spongebob, Patrick, dan juga sandy
yang bisa hidup bersamaan dengan
berbagai macam “rekayasa”.
Lalu ada seorang rekan yang berpendapat
seperti ini
“ada hal-hal yang lebih mendasar daripada hanya sekedar merubah "tidak bisa" menjadi "bisa" ini, yaitu tentang "nature" atau "fitrah". Spongebob dan Patrik, fitrahnya memang hidup di laut, sementara Sandy fitrahnya hidup di darat. Secara kasar, saya mungkin akan bilang bahwa pendidikan kita saat ini, kebanyakan malah merusak yang "fitrah" ini. Pendidikan kita, lebih banyak memberikan ruang untuk mempelajari "pengetahuan tentang diluar sana" sehingga melupakan tentang "pengetahuan yang ada didalam diri ini".
Saya pribadi, totally disagree
tentang “merusak fitrah” atau apalah itu.
Jika saya beri batasan masalah pada bahasan kali ini adalah dimulai dari dunia perkuliahan.
Bukan kehidupan dari SD-SMA. Jika batasan masalahnya adalah kehidupan dari SD-SMA,
I do agree about “merusak fitrah” dsbnya itu,
jika di ambil sebuah contoh dari kisah Einstein sewaktu SD,
dimana gurunya berkata bahwa Einstein kecil adalah murid yang bodoh karena nilainya jelek2, kecuali matematika.
Hal ini terjadi sebab, tidak peduli siswa itu seekor ikan, monyet, gajah, ular, mereka dipaksa bisa memanjat pohon, berenang, hidup di darat, dll.
Jika saya beri batasan masalah pada bahasan kali ini adalah dimulai dari dunia perkuliahan.
Bukan kehidupan dari SD-SMA. Jika batasan masalahnya adalah kehidupan dari SD-SMA,
I do agree about “merusak fitrah” dsbnya itu,
jika di ambil sebuah contoh dari kisah Einstein sewaktu SD,
dimana gurunya berkata bahwa Einstein kecil adalah murid yang bodoh karena nilainya jelek2, kecuali matematika.
Hal ini terjadi sebab, tidak peduli siswa itu seekor ikan, monyet, gajah, ular, mereka dipaksa bisa memanjat pohon, berenang, hidup di darat, dll.
Namun dalam dunia perkuliahan,
kalaupun terjadi, bukan sistem pendidikan yang merusak fitrah, namun
individu-individu itu sendiri lah yang merusak fitrahnya.
Sistem pendidikan sudah dibuat sedemikian rupa.
Let’s make it simple, i.e,
di lingkungan gajah, seluruh elemen yang belajar di situ harus bisa mengangkut barang berat,
di lingkungan monyet, seluruh elemen yang belajar di situ harus bisa memanjat pohon.
Semua sudah jelas, and everybody has a freedom, to make their choose, mau masuk lingkungan mana.
Sistem pendidikan sudah dibuat sedemikian rupa.
Let’s make it simple, i.e,
di lingkungan gajah, seluruh elemen yang belajar di situ harus bisa mengangkut barang berat,
di lingkungan monyet, seluruh elemen yang belajar di situ harus bisa memanjat pohon.
Semua sudah jelas, and everybody has a freedom, to make their choose, mau masuk lingkungan mana.
Dosen saya juga pernah berkata, “tugas
seorang dosen adalah membuat sistem yang bisa menghasilkan output yang sama, walaupun
inputannya berbeda-beda, ya walaupun tidak persis homogen, at least ada
standar kualifikasi untuk outputnya”
Nah, Ketika seekor gajah masuk ke
lingkungan monyet, ada 2 pilihan yang gajah punya,
pertama, pindah ke lingkungan dimana gajah seharusnya berada,
kedua, tetap berada di lingkungan monyet, namun si gajah harus bisa memanjat pohon.
Nah, jika gajah memilih pilihan kedua, apa sistem yang salah dan merusak fitrah?
Atau gajah yang terlalu naïf, ketika gajah malah memanjat pohon dan lupa akan fitrahnya,
atau jika masih tidak bisa memanjat pohon, lalu kembali mencari pembenaran dengan mengatasnamakan fitrahnya si gajah?
pertama, pindah ke lingkungan dimana gajah seharusnya berada,
kedua, tetap berada di lingkungan monyet, namun si gajah harus bisa memanjat pohon.
Nah, jika gajah memilih pilihan kedua, apa sistem yang salah dan merusak fitrah?
Atau gajah yang terlalu naïf, ketika gajah malah memanjat pohon dan lupa akan fitrahnya,
atau jika masih tidak bisa memanjat pohon, lalu kembali mencari pembenaran dengan mengatasnamakan fitrahnya si gajah?
Saya pribadi?
Saya tidak terlalu minat dengan bidang ilmu yang saya tekuni sekarang,
saya sadar betul saya lebih minat di dunia musik dan sastra,
saya lebih suka mendaki gunung, memanjat tebing, atau kegiatan-kegiatan yang mengharuskan saya berinteraksi sosal jika dibandingkan harus mengotak-atik segala sesuatu di lab.
Namun passion tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak bertanggung jawab atas jalan yang telah di pilih.
Saya pun sadar, saya gajah yang sedang dipaksa memanjat pohon, oleh karna pilihan saya sendiri.
Saya tidak terlalu minat dengan bidang ilmu yang saya tekuni sekarang,
saya sadar betul saya lebih minat di dunia musik dan sastra,
saya lebih suka mendaki gunung, memanjat tebing, atau kegiatan-kegiatan yang mengharuskan saya berinteraksi sosal jika dibandingkan harus mengotak-atik segala sesuatu di lab.
Namun passion tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak bertanggung jawab atas jalan yang telah di pilih.
Saya pun sadar, saya gajah yang sedang dipaksa memanjat pohon, oleh karna pilihan saya sendiri.
Apa saya merusak fitrah diri saya
sendiri?
Absolutely not,
saya adalah seekor gajah yang mempunyai visi mendirikan rumah yang sejuk dan asri di atas pohon yang tinggi, lalu apa yang saya lakukan?
Saya memilih lingkungan monyet dan belajar memanjat, walaupun sangat sulit, sehingga visi saya bisa tercapai.
Dan bila saya terjatuh dan sering gagal ketika belajar memanjat, there is no excuse to say, “hey world! I’m an elephant, not a monkey!”
Absolutely not,
saya adalah seekor gajah yang mempunyai visi mendirikan rumah yang sejuk dan asri di atas pohon yang tinggi, lalu apa yang saya lakukan?
Saya memilih lingkungan monyet dan belajar memanjat, walaupun sangat sulit, sehingga visi saya bisa tercapai.
Dan bila saya terjatuh dan sering gagal ketika belajar memanjat, there is no excuse to say, “hey world! I’m an elephant, not a monkey!”
So? What do you think?
Mohon Maaf jika tulisan ini
menyinggung beberapa rekan, saya hanya mengutarakan apa yang ada di pikiran
saya tentang filosofi yang mungkin berpotensi menyesatkan jika tidak diberikan
batasan masalahnya menurut saya.
Best Regards,
Ade Setio Nugroho